Muncul lagi berita kekerasan guru terhadap siswa. Beberapa siswi
ditampar, disuruh makan sepatu, kaos kaki dll.
Menyedihkan. Apapun alasannya, tetap salah.
Apakah tindakan itu terjadi karena sang guru tidak bisa
mengajar? Tidak bisa menerapkan disiplin positif?
Saya tidak tahu masalahnya tapi yang jelas masalahnya tidak
selalu di aspek pengetahuan dan keterampilan. Seseorang bisa saja tahu apa yang
harus dilakukan. Dia juga bisa melakukannya. Namun, dalam praktik kontrol emosi
adalah kunci. Buktinya, atlit yang terampil saja, kalau tersulut emosi, bisa berantakan
permainannya.
Dan ini bisa menimpa siapa saja. Yang biasanya santun sekalipun.
Trainer IPC -
Interpersonal Communication, termasuk
saya, acapkali menyarankan bersikap asertif. Kalau ada siswa bandel, jangan
marah. Beritahu saja kesalahannya di mana, perasaan Anda seperti apa, maunya
Anda bagaimana dan konsekuensi bila terulang. Kalau bandel lagi, jangan marah, jalankan
saja konsekuensi yang dijanjikan. Semisal, suruh pulang dan kembali dengan dampingan
orang tua.
Tapi praktik tak
semudah itu.
Kata orang-orang,
namanya manusia ada batasnya, termasuk batas emosi. Kata para ahli, batas emosi
kita naikan lagi. Kalau semula sumbu pendek, bisa dibuat lebih panjang. Dengan begitu,
tidak mudah tersulut emosi.
Caranya bagaimana?
Ya, latihan.
Sama seperti
olah raga angkat besi. Kekuatan mental juga harus dilatih. Kalau kita tak
terbiasa angkat beban lalu tiba-tiba harus angkat 50kg, rontok otot kita. Demikian
pula mental. Kalau tak terbiasa menahan emosi level 3, lalu siswa bandel minta
ampun sampai lewat level 5, rontok akal sehat kita. Nafsu yang menyetir
kata-kata, mata, tangan, tubuh dan semua gerak kita. Bubar.
Bagaimana latihannya?
Para ahli
menyodorkan banyak model. Satu yang saya suka adalah yang suka saya plesetkan
menjadi lu jual, gua kagak beli.
Semisal,
saat mengajar satu siswa bandel melempar
bola kertas ke kawannya tapi mental mengenai Anda.
Pertama, saat
dorongan marah itu muncul dan kepala kita penuh keinginan untuk menghukum,
biarkan saja. Iya, biarkan saja. Sadari ada sesuatu dorongan, gejolak di kepala
kita. Ambil jeda sebentar.
Kedua, sejenak
ingat nilai-nilai yang Anda pegang teguh. Pendidikan tanpa kekerasan. Karir
mengajar yang utama. Tidak ingin membuat siswa lain terganggu atau apapun.
Ketiga,
jangan kasih. Jangan ikuti dorongan marah. Lakukan yang lain. Lanjutkan mengajar. Jangan
pedulikan.
Keempat, selang beberapa saat barulah Anda
beri teguran atau hukuman pada siswa yang melempar bola kertas tadi. Di sini,
Anda memberi teguran atau hukuman bukan karena dorongan nafsu. Anda tidak
diatur oleh itu. Anda memberikan teguran atau hukuman atas pertimbangan aturan dan nilai
yang Anda miliki.
Latihan
berulang-ulang akan membuat batas emosi kita lebih panjang. Akhirnya, Anda sepenuhnya yang atur
kelas, bukan emosi Anda.
Risang
Rimbatmaja